Ketika Mesin Juara Dunia Jerman Berhenti Bekerja


“Ohne Worte” dan “Ohne Worte”.

Demikian bunyi judul utama tabloid terbesar Jerman Bild dalam dua edisi yang bebeda. Satu edisi terbit mengiringi kemenangan sensasional 7-1 Jerman atas Brasil di semi-final Piala Dunia 2014. Sementara yang satu terbit empat tahun sesudahnya, seusai Jerman dibekap 2-0 Korea Selatan – kekalahan yang mengonfirmasi kejutan terbesar di Rusia 2018.

“Ohne Worte” sendiri berarti speechless, tak bisa berkata-kata. Terbungkam.

Tragedi sepakbola Brasil empat tahun silam kini justru berbalik menyerang si pelaku tragedi. Datang sebagai juara bertahan, Jerman pulang dengan malu besar: tersisih di awal turnamen sekaligus menjadi juru kunci Grup F di bawah Swedia, Meksiko dan Korsel.

Dari generasi ke generasi, para pemain, pelatih, hingga pendukung Die Mannschaft tentu sudah berkali-kali merasakan pedihnya kekalahan. Tapi barang tentu tidak pernah semenyakitkan ini. Wajar saja, sepanjang sejarah Piala Dunia tidak pernah ada cerita Jerman terlempar dari babak grup.


Di Piala Dunia 1938, Jerman sebetulnya juga tersingkir di babak awal turnamen. Namun ketika itu, Piala Dunia langsung dimulai dengan fase gugur 16 besar di mana Jerman disingkirkan oleh Swiss lewat laga replay (kalah 4-2 setelah bermain 1-1). 80 tahun kemudian, sejarah ternyata berulang.

Tidak ada permainan standar tinggi seperti yang biasa dipamerkan Jerman di turnamen besar. Para pemain beberapa kali terlihat tak punya nafsu menang dan bahkan ceroboh, berpuncak pada aksi gila kiper Manuel Neuer di pengujung laga yang membuat Korsel mencetak gol ke gawang kosong untuk membunuh pertandingan.

Kutukan juara bertahan menjadi bumbu penyedap dari kegagalan Jerman ini, namun tidak akan sanggup untuk menutupi dosa-dosa Toni Kroos dkk. di Rusia.


“Best never rest,” begitu bunyi pesan sponsor yang melekat di seragam latihan Jerman. Seperti mengkhianati slogan itu, sang kesebelasan terbaik ternyata justru memilih berleha-leha. Para pemain Jerman seperti masih menikmati sisa-sisa kejayaan di Brasil. Maklum, sekitar 70 persen dari skuat Jerman 2018 masih ditopang oleh skuat Jerman 2014. 

Gelagat buruk itu sebetulnya sudah tercium sejak satu tahun lalu, ketika Jerman tampil memble di serangkaian partai uji coba melawan Prancis, Spanyol, Brasil, dan terus berlanjut di dua laga terakhir jelang turnamen kontra Austria dan Arab Saudi. Namun Joachim Low dan pasukannya tidak cepat-cepat sadar.

Menurut eks gelandang Jerman Thomas Hitzlsperger, situasi ini sebetulnya bisa diatasi andaikata Low lebih berani mengandalkan darah muda Jerman yang amat berlimpah dan lapar trofi sebagaimana yang sukses diimplementasikan di Piala Konfederasi 2017. Alih-alih seperti itu, Low tetap memercayakan tim ini pada singa-singa tua macam Thomas Muller dan Mesut Ozil, dan tidak memberikan kesempatan pada talenta berbakat seperti Leroy Sane.


“Leroy Sane adalah pemain yang seharusnya muncul di skuat seperti ini. Dia adalah sosok yang dibutuhkan Jerman, seorang pemain yang masih muda dan memiliki kecepatan yang berbahaya,” tulis Hitzlsperger dalam kolomnya di The Guardian.

Walau begitu, Hitzlsperger meyakini Low akan tetap mempertahankan jabatannya sebagai pelatih asalkan tetap memiliki motivasi yang dibutuhkan. “Secara pribadi, dia akan mampu memimpin Jerman melewati transisi pascakegagalan di Piala Dunia ini karena memiliki catatan, talenta, dan kesadaran yang sangat baik dalam memahami sepakbola,” lanjutnya.

Selain itu, faktor non-teknis juga punya andil. Jerman dikabarkan tidak kerasan dengan markas awal mereka di Vatutinki, Moskwa. Seusai kalah melawan Meksiko, Jerman memindah kediaman mereka ke Sochi yang beriklim hangat dan bermandikan sinar matahari. Hasilnya, Jerman menang dramatis 2-1 atas Swedia dan optimisme kembali membumbung tinggi. Akan tetapi, laga penentu kontra Korsel justru berakhir bencana.

Ada pula kabar yang menyebutkan skuat Jerman sedang retak. Media-media Jerman menuliskan, ada dua geng besar di dalam tubuh Tim Panser, yakni geng “Bling-bling” yang berisikan Ozil, Boateng, Khedira, Draxler dan geng Bavaria yang Bayern Munich-sentris seperti Muller, Kroos, hingga Hummels.

Terlepas dari benar-tidaknya rumor itu, kondisi riil di lapangan menunjukkan kalau mesin Jerman memang sedang mogok. Walau begitu, DFB tidak perlu melakukan perombakan besar-besaran di segala lini seperti era 2000-an awal. Infrastruktur sepakbola sudah komplet, talenta tak perlu ditanyakan, tinggal mental juara yang mesti dibenahi.

Sejarah panjang dan gemilang Jerman tidak melulu soal kesuksesan, namun di dalamnya juga terdapat kegagalan pahit semacam ini, yang diharapkan bisa mendewasakan dan pada akhirnya menghidupkan kembali mesin juara dunia mereka yang kini tengah terhenti.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Ketika Mesin Juara Dunia Jerman Berhenti Bekerja"

Post a Comment